Bahasa Inggris dan Penemuan Diri
Penulis: Aziza Nur Adriani
Akhir-akhir ini nampaknya ‘manfaat untuk karier’ menjadi penentu dari seberapa esensial kemampuan berbahasa Inggris di kehidupan kita. Banyak sekali artikel yang menyajikan bahwa pentingnya memiliki kemampuan berbahasa Inggris adalah untuk akselerasi karier di bidang pekerjaan, memperluas relasi, dan sebagainya. Seolah satu-satunya alasan untuk mempelajari bahasa Inggris adalah untuk mempersiapkan masa depan seseorang. Kampanye yang demikian tak jarang membuat saya lelah. Meski tak salah, namun tujuan dari belajar yang sebenarnya jadi terlupakan. Seakan tujuan dari belajar hanyalah untuk bekerja. Padahal ada banyak hal yang sama pentingnya dengan pekerjaan yang bisa kita dapatkan dari belajar, dalam hal ini belajar bahasa Inggris.
Seperti yang saya alami dalam perjalanan saya mengenal bahasa Inggris. Barangkali orang-orang tak melihat medali yang bergelantungan di leher saya atau piala yang berjejeran di ruang keluarga karena saya mampu berbahasa Inggris sedikit lebih baik dari yang lain. Namun itu semua bukan bentuk kegagalan apalagi kesia-siaan dalam belajar bahasa Inggris. Ada banyak sekali hal di luar prestasi atau karier yang dapat kita apresiasi dari proses belajar seseorang dan kemampuan yang berhasil ia bangun dari hasil belajar tersebut. Salah satunya adalah penemuan diri.
Acap kali kita menemui fase dimana kita jadi kehilangan harapan dan semangat untuk menjalani hidup. Merasa tak berguna dan tidak bisa apa-apa adalah hal yang lumrah terjadi di antara kita. Seperti kebanyakan orang, saya juga mengalami hal yang sama. Namun, tanpa disadari, secara langsung maupun tidak, kemampuan bahasa Inggris yang saya bangun selama bertahun-tahun ini menolong saya untuk keluar dari situasi tersebut.
Sebagai seorang pelajar tentu yang kita hadapi sehari-hari adalah sekolah, dan seiring dengan bertambahnya usia, meluasnya pergaulan, kita jadi bisa bertemu orang-orang hebat dengan prestasi yang mengagumkan. Sebagai siswa biasa, saya tentu saja merasa minder, terbelakang, dan merasa tak bisa apa-apa. Kemampuan bahasa Inggris yang saya miliki seakan sia-sia saja karena tak pernah sekalipun menjadi catatan prestasi di buku rapor. Semangat saya tambah patah karena prestasi di mata pelajaran lain pun tak luar biasa. Saya putus asa, semuanya lebih baik dari saya bahkan dalam hal yang menjadi satu-satunya kelebihan saya, bahasa Inggris.
Tapi kelihatannya saya salah. Kelebihan satu-satunya yang saya miliki ternyata masih punya kegunaan. Saya pikir karena bahasa Inggris saya yang pada waktu itu sebatas ‘sedikit lebih baik’ daripada yang lain bukanlah apa-apa, sebab masih banyak yang ‘amat sangat baik’ kefasihannya di kelas. Hal tersebut lantas membuat saya berpikir bahwa kelebihan yang level kecakapannya tak seberapa ini hanya akan teronggok di otak tanpa memiliki manfaat atau membawa perubahan yang signifikan terhadap prestasi saya di sekolah.
Namun, tak disangka-sangka, hal yang tak seberapa hebat itu membawa saya pada hal-hal kecil yang sangat bermakna. Dipuji oleh guru pelajaran bahasa Inggris karena sukses mengerjakan tugas, misal. Walaupun terlihat sepele, namun hal tersebut membuat saya merasa senang, karena apa yang saya kerjakan mendapat respon positif dari guru yang saya hormati. Tak sampai disitu, pujian yang mungkin sudah dilupakan oleh guru saya itu, telah menjadi penyemangat dan pembangun rasa percaya diri saya untuk terus mendalami bahasa Inggris. Di jam pelajaran bahasa Inggris atau dalam persiapan try out, ada kalanya teman-teman menanyakan maksud dari kosakata maupun kalimat bahasa Inggris yang kurang mereka pahami kepada saya.
Kepercayaan mereka untuk menjadikan saya sebagai tempat untuk dimintai tolong, membuat saya menemukan nilai dalam diri sendiri. Mungkin hal ini terdengar sangat remeh, namun tetap saja nilai yang saya temukan dalam diri sendiri karena bisa jadi berguna bagi orang lain merupakan hal yang sangat berarti. Pujian yang dilontarkan pada waktu itu memberi tahu saya bahwa saya telah melakukannya dengan baik, suatu hal yang berulang kali saya tepis karena saya pikir, tidak mungkin saya bisa mendapat apresiasi atas ketidak-istimewaan ini. Penemuan yang hadir dalam perjalanan ini menghentikan saya dari pemikiran bahwa saya adalah orang yang tidak bisa apa-apa dan mulai menghargai kelebihan yang saya miliki. Saya juga jadi sadar bahwa kelebihan bukanlah ‘apa yang bisa saya lakukan dan orang lain tidak,’ tetapi ‘di antara sekian banyak hal, hal apa yang paling baik saya lakukan.’
Strength is not ‘what others can’t do but we can’
Strength is what we most best at
Dalam hidup, yang namanya manusia pasti pernah mengalami masalah. Tak hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali. Apalagi di masa remaja, masa dimana kita tengah mencari jati diri. Tak terhitung ada berapa peristiwa yang kita alami demi menemukan arti dari diri sendiri. Sebagai remaja yang sedang mengalami masa transisi, saya begitu terkejut dengan lingkungan SMP kala itu. Kenyataan yang jauh berbeda dibanding sekolah dasar masih sulit saya terima. Label ‘siswa berprestasi’ yang saya dapatkan dibangku SD ternyata bukan hal yang istimewa saat saya masuk SMP dan bertemu dengan teman-teman yang lebih hebat. Rasa percaya diri yang saya punya terkikis sedikit demi sedikit, saya pesimis bisa jadi sehebat apa yang saya mau, hingga akhirnya pemikiran itu membawa saya pada setiap kegagalan untuk memenuhi target yang saya tentukan kepada diri sendiri. Lambat laun saya pun jadi semakin takut untuk bermimpi karena saya pikir saya tak akan mampu menggapainya.
Bertahun-tahun saya berkutat dengan pemikiran tersebut, bahkan hingga saya lulus dan masuk SMA. Tak ada titik terang yang saya temui, sampai saya tak sadar bahwa kebebasan saya untuk bermimpi telah direnggut oleh sebuah pemikiran yang selalu menjadi sangkar bagi jiwa saya. Kutipan ‘they told me all of my cages were mental, so I got wasted like all my potential’ dari lagu Taylor Swift yang berjudul This Is Me Trying sangat beresonasi dengan apa yang saya rasakan pada waktu itu.
Namun, anugerah datang. Saya dipertemukan dengan dunia debat bahasa Inggris di kelas X semester 2 lalu. Mendengar kata debat, jantung saya berdebar, saya begitu bersemangat. Sudah sejak lama saya ingin mencoba kesempatan ini, berharap suatu hari nanti saya mampu menjadi seperti debater yang pernah saya tonton. Tawaran tersebut datang dari salah satu kawan saya, tentu saja saya benar-benar bahagia, tapi di sisi lain saya juga ragu apakah saya bisa melakukannya dengan baik. Yah, apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Keraguan tersebut datang tepat setelah saya mengiyakan tawarannya. Kali ini saya harus berterima kasih pada sifat impulsif saya, tanpanya saya mungkin tak pernah punya kesempatan untuk mencoba hal yang saya mau dan membawa saya ke penemuan diri selanjutnya.
Bersamaan dengan proses persiapan lomba tersebut, timbul keinginan untuk menang dalam diri saya, timbul semangat untuk melakukan yang terbaik dan memperjuangkan hal yang saya sukai. Entah datang dari mana hal-hal tersebut, saya yang tak punya pengalaman pada lomba debat tiba-tiba berani sekali berharap untuk lolos seleksi provinsi. Saya ingin menang. Hanya itu yang saya tahu.
Barangkali selama proses pelatihan tersebut, berkomunikasi, melakukan hal yang saya suka, dan bertukar pendapat telah membawa saya pada perspektif baru. Perspektif yang membuat saya mampu melepas kunci sangkar kepesimisan saya. Saya ingat sekali pada suatu sore selepas persiapan lomba, salah satu rekan saya berkata, “Saya rela berhenti main game demi lomba ini, karena saya ingin menang.” Perkataan itu benar-benar merubah pemikiran saya tentang harapan. Kami bertiga sama-sama tak punya pengalaman, tapi rekan saya bisa punya harapan yang demikian, harapan yang anehnya sejalan dengan apa yang saya rasakan. Sore itu, ‘sangkar’ saya resmi terbuka. Ketakutan untuk berharap dan bermimpi yang selama ini mengekang sudah menghilang. Ternyata berharap bukanlah suatu hal mahal yang harus dibayar dengan kemampuan dan prestasi. Harapan adalah hal yang mengubah seseorang dari biasa jadi luar biasa. Karena bukan piala dan piagam yang membuat seseorang hebat, tapi keberanian mereka untuk berharap.
Selain pertemuan saya dengan harapan, lomba debat juga membawa saya pada hal yang selama ini saya cari, yaitu ‘tujuan’. Bertahun-tahun saya stres dan bimbang dengan pertanyaan ‘sebenarnya, apa sih yang ingin saya lakukan?’ Saya tak punya hal yang ingin saya pelajari atau hal yang ingin saya kerjakan di masa depan, saya tertarik pada beberapa hal tapi tak yakin untuk menjadikannya lebih dari sekedar hobi. Hingga lagi-lagi, dalam masa pelatihan lomba debat, ketika kami diminta untuk menyiapkan sebuah mosi, saya menjadi terpikirkan soal ‘tujuan.’
Tak disangka-sangka, hal yang sama sekali tidak terencana dan hampir tak punya korelasi ini membawa saya pada penemuan tentang hal yang ingin saya lakukan. Saya jadi terpikirkan untuk belajar ilmu hukum setelah saya lulus SMA nanti. Barangkali pertemuan saya dengan ‘tujuan’ ini terlihat dangkal karena muncul dalam proses singkat menyiapkan mosi untuk debat bahasa Inggris. Tapi sejujurnya, ketertarikan ini bukan ketertarikan yang muncul dalam semalam, karena dari dulu saya sudah tertarik pada hal-hal berbau hukum. Ketika saya tengah mencari tahu tentang dasar hukum yang berkaitan dengan hal pada mosi yang saya siapkan, saya merasa keren. Banyak hal yang bisa membuat orang merasa keren, diantaranya adalah dengan melakukan apa yang mereka mau dalam hidup. Barangkali hal yang sama terjadi pada saya. Dari sekian banyak hal yang saya cari tahu di dunia ini, hanya ilmu hukum yang berhasil menumbuhkan keinginan serius pada diri saya untuk mendalaminya.
Secara sekilas, mungkin hukum terlihat kaku dan hanya berisi tentang seperangkat peraturan yang dingin, namun hal itu tidak benar adanya. Hukum justru ada untuk menjaga kehangatan antarmanusia. Hukum bukan hanya seperangkat peraturan, tapi juga kasih sayang untuk umat manusia. Karena, dengan adanya hukum, manusia diingatkan kembali untuk jadi manusiawi, dan hukum adalah kasih sayang, karena ia memberi maaf, kesempatan dan keadilan. Pemikiran ini muncul dari ketidaksengajaan, dari bahasa Inggris, mendalami bahasa Inggris, ikut debat bahasa Inggris, ke mosi, lalu ke hukum. Sungguh perjalanan yang absurd. Namun, pemikiran dan pertemuan ini tak akan ada kalau sejak awal saya menyerah dengan bahasa Inggris.
Perkenalan saya dengan bahasa Inggris bagaikan efek kupu-kupu dalam hidup saya. Hal yang nampak tak seberapa namun mampu membawa saya pada berbagai macam penemuan besar dalam hidup. Barangkali, jika saya tak memahami bahasa Inggris dengan baik, hal-hal yang saya sampaikan tadi tidak akan terjadi, tanpa bahasa Inggris mungkin sekarang saya masih menjadi seorang pesimis dan penakut, tanpa bahasa Inggris saya tak akan bisa mengikuti lomba debat yang mengantarkan saya pada apa yang selama ini hilang, pada apa yang saya cari, dan pada perspektif baru akan hal yang mulanya belum saya kenal dengan baik. Jadi, tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa bahasa Inggris membawa perubahan yang sangat mendalam pada hidup saya. Saya sangat bersyukur bisa mendapat kesempatan untuk mengenal bahasa Inggris dan terus mendalaminya.
Sumber Artikel: http://www.sma4purwokerto.sch.id/?r=post&type=12&id=77&code=db5b0d7674a72916811c2489211c101e
Leave a Comment